Dulu
sebelum menginjakkan kaki di negara maju, pikiran ini selalu berkhayal suatu
saat otomasi atau apa-apa dilakukan oleh mesin itu merambah ke Indonesia. Mau
bayar listrik, tinggal online. Kalaupun tidak cukup datang ke PLN, mendatangi
suatu mesin. Pencet ini itu, selesai, lunas. Tidak perlu berhadapan dengan
petugas yang mungkin pelayanannya tidak menyenangkan. Apalagi jika membayar
terlambat, kita tidak perlu malu ketemu petugas. Cukup bertemu mesin, dan bayar
denda, selesai. Mau menabung, cukup memasukkan uang ke dalam mesin. Pencet ini
dan itu, selesai. Rekening bertambah. Mau beli tiket bis atau kereta jika tidak
bisa online, tinggal mendatangi mesin yang diletakkan di stasiun. Pencet ini
dan itu, selesai. Dapatlah tiket. Tidak perlu ada calo tiket yang seringnya
membuat kita jengkel. Mau beli di swalayan, tinggal mendatangi mesin. Bayar dan
bisa dapat kembalian uang pas, bukan permen. Sudah selesai. Tidak perlu ketemu
dengan pelayan yang kadang tidak ramah apalagi sampai dikasih kembalian permen.
Tentu menyebalkan bukan?
| Trolley |
Ya,
ketika kita mengalami hal buruk dengan orang membuat kita bermimpi jika suatu
saat apa-apa di negeri ini dilakukan oleh mesin saja. Di artikel ini saya
berbagi bagaimana alat-alat dioperasikan tanpa banyak melibatkan tenaga
manusia. Saat pertama kali menginjakkan kaki di Inggris, begitu keluar dari
Imigrasi langsung ke baggage claim. Tas kami banyak, butuh trolley untuk membawanya. Saya toleh
sana sini, tidak ada petugas pembawa trolley. Hanya saya lihat di
pojokan ada trolley berjajar rapi. Suami saya bilang, butuh duit £1
untuk itu. Karena orang udik yang masih belum ‘ngeh’ saya masih
berfikir, bayarnya dimana. Sebelum sempat saya mendapat jawaban, suami saya
langsung ambil uang £1 di kantongnya dan menuju ke trolley yang berjajar
itu kemudian memasukkan uang ke dalam lubang di pegangan trolley. Dengan
memasukkan uang ke trolley itu berarti trolley bisa digunakan. Ah
ternyata cukup mudah. Cuma £1 saja atau kurang lebih ya Rp 15.000. Tidak ada porter
yang minta tarif beda-beda.
| Mesin Tiket |
Di
lain waktu, jalan-jalan ke pusat kota untuk mencari keperluan rumah. Suami
sudah mengingatkan untuk menyiapkan uang receh karena seringnya pak sopir hanya
mau uang pas. Saya bertanya dalam hati, kok pak sopir? Bukannya kondektur? Tapi
saya simpan saja pertanyaan saya supaya tidak ketahuan ‘terlalu udik’.
Tibalah kami di bus stop dekat rumah. Begitu bus datang, suami langsung
memasukkan uang ke mesin dekat sopir kemudian dari mesin di dekat pintu keluar
tiket. Akhinya terjawab sudah pertanyaan saya tadi. Ya, kru bus tingkat atau
dikenal double decker itu hanya satu. Hanya sopir bus itu sendiri. Tidak
ada kondektur yang siap narik. Lantas, bagaimana turunnya? Tinggal pencet bel
yang hampir selalu ada di besi pegangan di dekat kursi penumpang. Kalau ini
saya tahu. Dulu di Surabaya kalau naik angkot kalau mau turun pake pencet bel.
Ah berarti Indonesiaku belum ketinggalan terlalu jauh. Sidikit berbeda ketika
naik kereta api. Untuk membayar tiket kereta sebenarnya bisa dilakukan online.
Tapi kami seringnya beli langsung di stasiun. Membayar tiket bisa dilakukan
lewat kasir dan juga disediakan mesin. Tinggal pencet ini dan itu, masukkan debit
card atau bayar cash untuk bayar, selesai. Dapatlah tiket kereta
api.